Garfield hallooooooo!!!: April 2014

Rabu, 02 April 2014

Noda Hitam Bernama Golongan Putih

Tahun 2014 dapat kita sebut sebagai tahun perubahan karena disetiap lingkup kekuasaan terjadi peralihan kepemimpinan. Dilingkup lokal yakni kampus, Prof. Djaali resmi terpilih untuk melanjutkan kepemimpinan Prof. Bedjo yang masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah untuk UNJ. Di lingkup regional, DKI Jakarta baru saja dikhianati oleh sang gubernur yang diminta parpol pengusung untuk menikmati tahta kuasa lebih tinggi yakni presiden.
          Dan di lingkup nasional, pada 9 April dan 9 Juli 2014 akan diadakan secara serentak pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Namun, dalam pemilihan nasional yang akan menentukan masa depan dan nasib lebih dari 240 juta rakyat Indonesia, terdapat satu kebiasaan yang mulai membudaya yakni pilihan menjadi Golongan Putih (Golput).
         Jika kita menilik tingkat partisipasi pemilih di pemilu-pemilu sebelumnya, maka akan kita temukan bahwa trend golput semakin meningkat. Pada Pemilu tahun 1999 angka golput sebesar 7,26 persen. Lalu pada pemilu legislatif 2004 angka golput menjadi 15,93 persen, pilpres 2004 putaran pertama sebesar 21,77 persen dan pilpres 2004 putaran kedua sebesar 23,37. Sedangkan pada pemilu legislatif 2009 angka golput sebesar 29,04 persen dan pilpres 2009 sebesar 27,44. (Sumber: Litbang Kompas)
        Jika kita membagi jenis golput berdasarkan motif, maka kita akan menemukan 2 motif yang mendasari seseorang untuk menjadi golongan putih: yakni golput administratif dan golput ideologis. Golput administratif adalah mereka yang tidak dapat memilih karena alasan teknis administratif dari penyelenggaraan pemilu. Seperti minimnya sosialisasi dari lembaga terkait, belum terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) atau keterjangkauan lokasi pilih dengan domisili saat ini. Dan yang lebih perlu mendapat perhatian adalah golput ideologis, yakni mereka yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilih dengan alasan ketidakpercayaan pada sistem ataupun calon-calon yang ditawarkan dengan sistem ini.
         Maka aksi massa dan audiensi ke KPU, advokasi mutasi hak pilih secara kolektif, sosialisasi tekhnis memilih, dialog calon anggota legislatif, dan forum kebangsaan calon presiden pada 30 April adalah serangkaian upaya untuk memastikan terpenuhinya hak pilih mahasiswa tanpa terhambat hal tekhnis administrasi. Pun untuk memangkas jarak antara subjek (pemilih) dengan sistem dan objek (calon terpilih) hingga mampu mengembalikan kepercayaan dan harapan publik kepada calon-calon pemimpinnya. Yang kesemuanya bertujuan untuk menekan angka golput dengan motif apapun dan bermuara pada berjalannya sistem demokrasi Indonesia yang optimal sehingga terpilih pemimpin yang ideal dan legitimated.
        Lalu ditengah-tengah kondisi politik kekinian, timbul rasa pesimis publik yang akhirnya menganggap bahwa golput adalah sebuah sikap dan jawaban. Benarkah?? Mari bandingkan antara pemilu dengan satu cara pengambilan keputusan lain, yakni musyawarah persidangan. Mayoritas mahasiswa pastinya paham terkait pengambilan keputusan saat persidangan. Dalam tata tertib persidangan, jalannya sidang dapat dipengaruhi oleh jumlah peserta (baca: kuorum) yang hadir. Maka jika terdapat kelompok yang tidak sepakat dengan pembahasan sidang, cukup dengan mengkapitalisasi setengah dari total peserta untuk abstain ataupun keluar persidangan maka pembahasan ataupun sidang akan tertunda. Maka disinilah “ketidakterlibatan yang disengaja” adalah sebuah sikap karena memiliki pengaruh. Namun sistem pemilu berbeda dengan persidangan. Dalam sistem demokrasi Indonesia, kita tidak mengenal istilah kuorum karena hasil akhir pemilu ditentukan hanya dari surat suara masuk yang sah. Misalnya perbandingan golput dan suara sah adalah 90% : 10%, maka yang 10% suara inilah yang menentukan hasil akhir sedang sisanya terabaikan. Artinya berapapun prosentase angka golput / “ketidakterlibatan yang disengaja” tidak akan mempengaruhi hasil akhir pemilu. Inikah yang disebut sikap dan jawaban??
            Hari ini bangsa indonesia hidup dalam kondisi darurat dimana sebuah kepemimpinan ideal masih sangat jauh dari apa yang dicita-citakan rakyat. Lambat laun indonesia semakin dijajah secara terang-terangan. Kekayaan energi yang hampir 85% dikuasai asing sehingga tidak jelas siapa tuan dan siapa tamu di negeri ini, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang semakin menegaskan bahwa “pendidikan untuk semua” hanya harap utopis, belum lagi perihal pemberantasan korupsi dengan jargon dusta “katakan TIDAK !!!”, sengsara rakyat yang disandingkan dengan kebutuhan parpol penguasa dan sederet masalah lain menjadi noda hitam kepemimpinan negeri ini. Menjadi wayang dari sang dalang yang bernama neoliberalisme, kepemimpinan tanpa loyalitas dan visi yang jelas untuk rakyat dan negeri ini.
           Tapi sadarkah kita, bahwa kepemimpinan 10 tahun terakhir adalah patungan “dosa” dari kita semua? para pemilih di 2 pemilu terakhir. Yang tidak cermat dalam memilih pemimpin, yang menjadi bagian dari 15,93 % – 29,04 % golongan tanpa sikap, lalu membiarkan pemimpin ideal tergeserkan oleh pemimpin yang hanya menawarkan janji dan menuhankan ketokohan?? Maka mari jadikan pemilu 2014 sebagai momentum kebangkitan bangsa. Mari menjadi pemilih cerdas mencerdaskan yang bergolongan (hati dan nalar) putih nan jernih. Karena satu suara kita adalah satu kontibusi nyata menuju Indonesia yang lebih baik.

Sumber : Kompas,2 April 2014

Revisi UU Demi Ketahanan Pangan

Tindak pidana memang tidak hanya terjadi karena dorongan niat, melainkan juga karena adanya kesempatan. Begitu pula didunia pangan, adanya kesempatan bisa jadi salah satu factor pemicu munculnya aneka ragam tindak pidana. Faktor utamanya tidak lain akibat lemahnya perundang-undangan yang mengatur masalah pangan, yang ttertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996.
Menurut Siswono Yudhohusdo, Anggota Komisi IV DPR-RI, undang-undang tersebut dipastikan sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan zaman sekarang. “Selain masih terlalu umum alias masih membahas hal-hal detil, undang-undang yang dibuat pada tahun 1996 tersebut juga cenderung sentralistis. Sedangkan sekarang situasinya berbeda, yaitu kita dituntut untuk lebih meningkatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah.”
Belum lagi, sanksi pidana akibat pelanggaran terhadap undang-undang tersebut juga dipandang masih sangat ringan. Padahal di era globalisasi yang begitu pesat, ini menjadi krusial untuk bagaimana memperketat masuknya makanan impor yang bisa membahayakan. Misalnya, dari residu insektisida yang efeknya baru terasa di jangka panjang, atau raskin dibeberapa tempat yang sangat buruk, busuk, bahkan berulat. Ini semua mesti ditangani dengan cara yang khusus, dan detil. Jadi mau tidak mau, undang-undang nomor 7 tahun 1996 tersebut mesti direvisi,” ujar Siswono.
Sementara itu Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar, lebih menyayangkan soal besarna peranan investor asing dalam pengelolaan pangan di Indonesia. Pemerintah dinilai terlalu bergantung pada pihak asinng. “Bukan hanya pertambangan dan hutan saja yang dikuasai perusahaan asing, pangan pun mau diserahkan ke asing,” ucap Firman. Jadi, sudah semestinya undang-undang tersebut direvisi demi mengarahkan pangan kita tkepada kemandirian, bukan malah serba ketergantungan.


Sumber :Koran Sindo,Selasa 1 April 2013 

Kampanye Bukan Ajang Show of Force

       Kampanye harusnya dimaknai sebagai upaya sosialisasi diri agar dikenal melalui pemaparan visi, misi, dan program yang akan dilakukan setelah partai politik (parpol) berkuasa. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami alas an dirinya memilih calon dan partai tertentu. Sayangnya, belakangan kampanye tidak lebih hanya member kesan sebagai ajang show of force atau unjuk kekuatan saja.
      Model kampanye rapat terbuka ini hanya ajang untuk kekuatan yang diharaka bisa diekspos media dengan kehadiran partisipasi dalam jumlah besar. Gaya kampanye rapat terbuka yang hingga kini masih diterapkan seluruh parpol peserta pemilu itu tidak banyak mempengaruhi peningkatan suara pemilih. Pasalnya, ada kecenderungan proses politi saat ini ditentukan persepsi pemilih atas partai.
       Adapun masyarakat pemilih sebenarnya lebih suka dengan model kampanye door to door ketimbang dipengaruhi demonstrasi pengumpulan massa dalam jumlah besar. Apalagi belakangan muncul fenomena kampanye rapat terbuka yang digelar melalui proses mobilisasi. Artinya, kehadiran massa dalam rapat akbar itu tidak mencerminkan pendukung atau kader dari partai tertentu.
        Bahkan ada kecenderungan mobilisasi massa dilakukan dengan berbayar. Jadi warga diharapkan dating dengan cara diberi bensin, voucher, dan kaus. Selain itu, kebanyakan massa yang dating juga hanya untuk menonton karena disuguhi hiburan. Disamping model kampanye terbuka tidak akan memberikan banyak pengaruh terhadap pemilih, pendidikan politik yang diharapkan pun tidak berjalan.
      Karena itu, parpol dan caleg seharunya lebih banyak mengunjungi masyarakat pemilih dibandingkan dengan melakukan mobilisasi massa dalam jumlah besar disau tempat. Dalam kampanye terbuka hanya terjadi komunikasi satu arah. Parpol lebih banyak mengenalkan calon dan mengajak warga memilih. Berbeda dengan kampanye door to door. Mereka bisa mengenal masalah di masyarakat.
        Kelemahan lain, kampanye terbuka tidak memberikan edukasi politik. Misalnya berbagai masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat tidak banyak terpublikasi dalam model kampanye terbuka seperti itu. Selain tida efektif memengaruhi pemilih serta tidak memberikan pendidikan politik terhadap pemilih, model kampanye terbuka juga menghabiskan biaya dalam jumlah besar.
        Sementara disisi lain parpol dihadapkan pada fenomena sentiment antipartai yang sangat kuat ditengah masyarakat. Lalu ada pula kecenderungan penguatan angka pemilih golongan putih (golput). Karena itu, masa kampanye terbuka itu harus dijadikan momentum meyakinkan mereka atas pentingnya memberikan pilihan politiknya. Upaya itu perlu dilakukan dengan menyasar kelompok berpotensi golpot.
       Namun, model kampanye rapat terbuka sulit menyasar kelompok sentiment antipartai yang jumlahnya relative besar. Saat ini saja jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan mencapai 20-30%. Harusnya dengan model kampanye terbuka parpol bisa mendekati kelompok yang belum menentukan pilihan itu. Upaya itu penting untuk membangun kepercayaan baru terhadap partai politik.

        Jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan tersebut perlu menjadi pehatian khusus parpol dan caleg. Apalagi mereka sulit didekati dengan model kampanye rapat terbuka. Kelompok yang belum menentukan pilihan ini hanya bisa didekati dengan model kampanye door to door. Itu yang harusnya dilakukan parpol. Mereka tidak cukup hanya mengandalkan kampanye terbuka melalui rapat akbar.

Sumber : Koran Sindo,Selasa 1 April 2014

IMF Cemaskan Ketidakseimbangan Ekonomi

  Krisis global belum pulih,dunia sudah menghadapai ancaman baru: kenaikan harga barang  dan  bahan pangan serta tingginya angka pengangguran.Faktor-faktor  itu berpotensi memicu proteksi perdagangan,bahkan perang antar negara.
         Direktur Pelaksana  Dana  Moneter   internasional dominiqiu rauss kahn ,dalam kuliah umum di Singapura, Selasa pekan lalu ,memperingatkan kenaikan harga pangan dan bahan bakar telah menghantam negara-negara miskin .Menurut Professor Ekonomi dr institut d’etudes politiques Paris ini,kedua faktor itulah yang memantik demonstrasi2 anti pemerintah di Mesir dan Tunisia.”Ada peningkatan ketidakstabilan sosial dan politik didalam negeri sejumlah negara  yang bisa  memicu perang, ‘’ katanya.
        Kahn juga mengatakan negara2 beranggaran defisit,seperti Amerika Serikat,pertumbuhan ekonominya ditopang  oleh permintaan domestik .Sedangkan di negara-negara  yang anggaran2 nya surplus,seperti China dan Jerman,pertumbuhan ekonominya didorong oleh ekspor.Perbedaan itu melahirkan ketidakseimbangan dan  ketegangan diantara negara-negara tersebut.Buntut nya bisa memicu proteksionisme dagang dan keuangan.

Sumber : Majalah Tempo,13 Februari 2011